This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, July 12, 2014

Menangis Sebagai Akhlak Rasulullah Saw.


Tangis yang ada hubungannya kepada Allah Swt adalah tangis yang banyak dilakukan oleh para auliyaillah, nabi, mulai dari Nabi Adam As sampai Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw.
Sebagaimana keterangan dalam hadis dari sahabat Ibn Mas’ud ra. Dia berkata : Rasulullah Saw bersabda : [25]
إِقْرَأْ عَلَيَّ القُرْانَ. قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَأَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ .قَالَ : إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي. فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِسَاءِ حَتَّى إِلَى هَذِهِ الاَيَةِ (فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا) قَالَ : حَسْبُكَ الاَن. فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِقَانِ
Bacakanlah untuk-KU ayat al-Qur’an. Aku menjawab : Wahai Rasulullah, apakah aku membacanya dihadapan Tuan, sedangkan Qur’an diturunkan kepada-MU.
Rasulullah Saw bersabda : Sungguh Aku senang mendengarkannya selain dari-Ku.
Kemudian aku membacakan untuk-Nya surat an-Nisa’, hingga ini ayat
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا
(Bagaimanakah, ketika Kami (Allah) mendatangkan bagi setiap ummat seorang saksi, dan Kami datangkan Kamu (Muhammad) kepada mereka sebagai saksi bagi mereka).
Rasulullah Saw berkata : Cukupkan bacaanmu sampai disitu saja. Kemudian aku menengok kepada-Nya, ternyata kedua mata Beliau mengalirkan airmata.
Rasulullah Saw merupakan manusia yang paling sayang dan kasih kepada ummatnya. Beliau Saw sering menangis, ketika ingat atau mengetahui ummat-Nya berbuat durhaka.
Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Amr Ibn al-Ash ra, Rasulullah Saw bersabda : [26]
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلاَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي إِبْرَاهِيْمَ : رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي. وَقَالَ عِيْسَى: إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ العِزِيْزُ الحَكِيْم. فَرَفَعَ يَدَ يْهِ. وَقَالَ: أُمَّتِي ...أُمَّتِي ... وَبَكى فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : يَا جِبْرِيْلُ إِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ فَسَلْهُ : مَا يَبْكِيْكَ ؟. فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَلاَمُ فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَالَ وَهُوَ أَعْلَمُ ؟ فَقَالَ اللهُ : يَا جِبْرْيلُ إِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ. فَقُلْ : إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِي أُمَّتِكَ وَلاَ نَسُؤُكَ
Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang do’a Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sungguh orang itu termasuk golonganku”. (dalam Qs. Ibrahim : 14). Dan Nabi Saw (membaca firman Allah Swt tentang doa Nabi ‘Isa : Jika Engkau (Allah) menyiksa, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuninya, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (dalam Qs, al-Maidah : 118).
Kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan berkata: Ya, Allah, ummatku…… ummatku…ummatku……. Dan menangis. Maka Allah Azza wa Jalla bersabda : Wahai Jibril pergilah kamu kepada Muhammad – sedangkan Tuhanmu lebih Mengetahui – Bertanyalah kepadanya, apa yang membuatnya menangis ?.
Kemudian Jibril mendatangi Rasulullah Saw untuk bertanya kepada Beliau. Dan Rasulullah memberitahu kepada Jibril tentang sesuatu yang dikatakan kepada Tuhan - (Allah lebih mengetahui). Allah Ta’ala berfirman : Wahai Jibril pergilah kamu kepada Muhammad, katakanlah kepadanya : Sesungguhnya Kami (Allah) akan meridlaimu dalam urusan ummatmu dan Allah tidak membuatmu sedih.
Benar-benar tinggi kepekaan jiwa yang dimiliki oleh para nabi dan rasul terhadap kebesaran Allah Swt, serta tinggi rasa takut kepada-Nya. Misalnya :
1. Nabi Daud As, setelah sedikit saja terpeleset dalam kesalahan, sesegera saja bertaubat, menangis dan sujud kepada Allah Swt untuk memohon ampunan selama 40 hari, hingga tanah yang dijadikan tempat sujud dan menangis tumbuh rumputnya. [27] Dan semua sifat-sifat mulia tersebut patut untuk diteladani, bukan sekedar dimengerti.
2. Kanjeng Nabi Adam As setelah dikeluarkan dari surga, menangis selama seratus tahun, menyesali kekhilafannya, bertaubat memohon ampunan kepada Allah Swt. Bahkan, sejak bumi ada dan sampai kapanpun, nilai tangisan seluruh ahli bumi belum sebanding dengan nilai tangisan Nabi Adam As. Diriwayatkan dari Buraidah, Rasulullah Saw bersabda : [28]
لَوْ أَنَّ بُكَاءَ دَاوُدَ وَبُكَاءَ جَمِيْعِ أَهْلِ الأرْضِ يُعْدَلُ بِبُكَاءِ آدَمَ مَا عَدَلَهُ
Sesungguhnya jika tangisan Nabi Daud dan tangisan seluruh ahli bumi dibandingkan dengan tangisan Nabi Adam, maka belum membandinginya.
Demikian tinggi kepekaan jiwa suci Nabiyullah Adam As. Sebagai bapak jasmani seluruh manusia, Beliau As sangat sedih, prihatin dan menangis, jika melihat keturunannya berbuat durhaka kepada Allah Swt. Namun, sayang sekali, kita sebagai keturunannya, alih-alih menangisi kedurhakaan diri, merasa malu kepada Allah Swt saja tidak. Bahkan, terkadang hati kita merasa risih ketika mendengar hamba Allah Swt yang sedang menangisi dosa-dosanya.
Hadis riwayat Imam Bukhari dari Anas Ibn Malik, Rasulullah Saw bersabda : [29]
فَلَمَّا فتَحَ عَلَوْنَا السَمَاءَ الدُنْيَا فَإِذَا رَجُلٌ قَاعِدٌ عَلَى يَمِيْنِهِ أَسْوِدَةٌ وَعَلَى يَسَارِهِ أسْوِدَةٌ إِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِيْنِهِ ضَحِكَ وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَسَارِهِ بَكَى فَقَالَ : مَرْحَبًا بِالنَبِيِّ الصَالِحِ والاِبْنِ الصَالِحِ, قُلْتُ لِجِبْرِيْلَ : مَنْ هَذَا؟ قَالَ : هَذَا أَدمُ وَهَذِهِ الأَسْوِدَةُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ نَسَمُ بَنيْهِ, فَأَهْلُ اليَمِيْنِ مِنْهُمْ أَهْلُ الجَنَّةِ وَالأَسْوِدَةُ التِي عَنْ شِمَالِهِ أَهْلُ النَارِ وَإِذَا نَظَرَعنْ يَمِيْنِهِ ضَحِكَ وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى
Ketika malaikat membuka (gerbang), kami naik kelangit dunia. Ternyata ada seorang laki-laki sedang duduk. Disebelah kanan dan kirinya terdapat sejumlah orang. Ketika lelaki itu menoleh ke arah kanan, maka dia tertawa. Dan ketika menoleh kearah kiri, dia menangis. Kemudian lelaki itu berkata : Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.
Aku (Rasulullah) bertanya kepada Jibril : Siapakah orang ini ?.
Jibril menjawab : Orang ini adalah Adam As. Sekelompok orang yang dikanan kirinya adalah jiwa anak keturunannya. Orang-orang yang disebelah kanan adalah ahli surga. Sedangkan yang disebelah kiri adalah penghuni neraka. Jika dia menoleh kearah kanan, maka dia tertawa. Dan ketika menoleh sebelah kiri ia menangis.
Mari kita renungkan bersama !. Kanjeng Nabi Adam As saja menangis bertahun-tahun meskipun hanya terperosok kesalahan satu kali. Beliau As sangat sedih melihat keturunanannya yang banyak berbuat dosa. Sangatlah dalam rasa malu dan takut kepada Allah Swt yang ada dalam jiwa Nabi Adam. Serta keprihatinannya terhadap masa depan keturunannya amatlah dalam. Hingga mudah airmatanya menetes. Dan bagaimana kwalitas jiwa kita ?. Kita berbuat dosa tidak hanya satu, dua, tiga kali, melainkan berpuluh-puluh, beratus, beribu-ribu kali bahkan tidak dapat dihitung. Namun ...., kita tidak merasa malu, sedih dan prihatin, apalagi menangis meratapi dosa kemudian bertobat memohon maghfirah Allah Swt ?. Mari kita akui dengan jujur, bahwa hati kita sangat keras, dan lagi membatu. Mari sekarang juga, kita bertobat memohon ampunan kepada Allah Swt !.
Al-Fatihah x 1
Dijelaskan dalam al-Qur’an, bahwa mudah meneteskan air mata ketika dibacakan ayat-ayat-Nya merupakan tanda-tanda orang yang mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt :
وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا اِذَا تُتْلىَ عَلَيْهِمْ اَيَاتُ الرَحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
Dan diantara orang-orang yang telah Kami berikan petunjuk dan telah Kami pilih, adalah apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah, maka mereka menyungkurkan (wajahnya) dengan sujud dan menangis.(Qs. Maryam: 58).
إِنَّ الذِيْنَ أُوتُو العِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan (tentang ke-Agungan Allah Swt) sebelumnya, ketika dibacakan (ayat-ayat Tuhan) mereka menyungkurkan muka serta sujud. Dan mereka menyungkurkan muka sambil menangis. Dan (tangisan itu) menambah khusyu’ mereka. (Qs. al-Isra : 107 & 109).
Demikian kedalaman iman dan kepekaan jiwa serta keterharuan mereka yang telah mendalam dalam pemahaman dan penghayatan terhadap ayat-ayat Allah Swt. Baru dibacakan saja tentang ayat-ayat-Nya, mereka dapat mencucurkan airmata, apalagi jika mereka sedikit terpeleset melakukan kesalahan.
Kemudian, marilah kita bertanya kepada diri kita, dapatkah kita meneladani mereka, atau bahkan berseberangan dengan akhlak dan kebiasaan mereka ?. Mari, melihat diri kita sendiri, bagaimana ketika mendengar bacaan al-Qur’an, dapat menangiskah, atau bahkan tertawa, atau tidak ambil pusing dan cuek-cuek saja. Dan semua itu kembali dan terpulang kepada masing-masing kita.
KETERANGAN :
[25]. HR. Bukhari dan Muslim. Lihat kitab Dalil Falihin, juz II, dalam bab “fadlul buka”, hadis nomer : 01. Dan kitab Syama-il al-Muhammadiyah-nya Imam Tirmidzi, bab 44, tentang “Buka-un Nabi Saw”, hadis nomer : 306. dalam Sunan Abu Daud, bab “shalat”.
[26] Hadits riwayat Imam Muslim, dalam Shahih Muslim juz II, kitab iman.
[27]. Kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani juz I dalam bab al-Itti’adz bi Mawa’idz al-Qur’an pada pasal ke 14
[28]. HR. Ibnu ‘Asaakir. Kitab Jami’ as-Shaghir juz II dalam bab “lam”. Imam Syuthi menjelaskan hadis ini berderajat hasan.
[29]. Hadis riwayat Abu Daud, An-Nasa’i, Tirmidzi dan Ibn Majah.
Sabda ini disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw sepulang dari perjalanan isra’ dan mi’raj. Lihat buku Syarah Hadis Qudsi, (terjemah kitab al-Ahaadits al-Qudsiyah, oleh ‘Team Daar al-Bazz’ Makkah, penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, cetakan pertama Juni tahun 2003 nomer hadis : 115.
[30]. Hadis riwayat Imam Thabrani. Imam Suyuthi mengatakan hadis ini shahih. Hadis shahih yang sepadan juga diriwayatkan oleh Imam Abu Ya’la dan Imam ad-Dliya’ dengan permulaan redaksi : عَيْنَانِ لاَتَمَسُّهُمَا النَّارُ أَبَدًا : “Dua jenis mata yang selamanya tidak tersentuh neraka” .
Imam Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas dengan redaksi :
عَيْنَانِ لاَتُصيْبهُمَا النَارَ : عَيْنٌ بَكَتْ فِي جَوْفِ اللَيْلِ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Dua jenis mata yang tidak tertimpa neraka : mata yang menangis ditengah malam karena takut kepada Allah, dan mata yang karipan (semalaman tidak tidur) dalam sabilillah.
Kitab Jami’ as-Shagir-nya al-Ghauts fii Zamanihi Imam Jalaluddin as-Suyuthi Ra, dalam juz II pada bab “ain”.

Sholawat Wahidiyah

MUNCULNYA SHOLAWAT BARU DI INDONESIA PADA TAHUN 1963 YANG LAHIR DARI BUAH TAKLIFAN MBAH KH. ABDUL MADJID MA'ROEF MU'ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA AL-GHOUTS FII ZAMANIHI, DARI PONPES KEDUNGLO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR MENIMBULKAN GEMPAR DI KALANGAN PARA ULAMA' DAN KYAI, KHUSUSNYA DI JAWA TIMUR KETIKA ITU.
APALAGI WAKTU ITU MBAH YAHI MADJID DIKENAL SEBAGAI KYAI YANG TIDAK PERNAH MONDOK DI PESANTREN DAN TIDAK BISA MENGAJI.
SALAH SEORANG DIANTARA ULAMA' DAN KYAI TERSEBUT ADALAH MBAH KH. MARZUKI DAHLAN PENGASUH PONPES LIRBOYO KEDIRI MENYIKAPI LAHIRNYA SHOLAWAT WAHIDIYAH DENGAN ARIF DAN BIJAKSANA DENGAN DAWUHNYA (MEMPREDIKSI/MERAMALKANNYA) DLM SUATU MAJLIS PENGAJIANNYA SBB :
"KALAU MEMANG KALIAN PARA SANTRI INGIN TAHU BAHWA SHOLAWAT WAHIDIYAH ITU HAQ ATAU BATHIL, TUNGGU SAJA WAHIDIYAH SAMPAI 3 (TIGA) TAHUN MENDATANG. KALAU MEMANG WAHIDIYAH ITU HAQ (BENAR), WAHIDIYAH AKAN TETAP EKSIS DAN BERKEMBANG SAMPAI TIGA TAHUN KE DEPAN. TAPI KALAU WAHIDIYAH ITU BATHIL, TIDAK SAMPAI TIGA TAHUN WAHIDIYAH AKAN BUBAR SENDIRI".
DEMIKIAN, DAWUH (RAMALAN) MBAH YAHI MARZUKI DAHLAN PENGASUH PONPES LIRBOYO KEDIRI SAAT MENGAJI SALAH SATU KITAB KUNING DIHADAPAN RATUSAN PARA SANTRINYA MENANGGAPI LAHIRNYA SHOLAWAT WAHIDIYAH DARI PONPES KEDUNGLO, KETIKA DAWUH PREDIKSI ITU DISAMPAIKAN SANG KYAI MASIH AWAL TERSIARNYA SHOLAWAT WAHIDIYAH DULU.
DLM KENYATAANNYA SETELAH TIGA TAHUN DARI DAWUH TERSEBUT SHOLAWAT WAHIDIYAH SEMAKIN EKSIS DIAMALKAN ORANG DAN TERSIAR SERTA BERKEMBANG LUAS DITENGAH MASYARAKAT INDONESIA KHUSUSNYA DAN MSYARAKAT DUNIA PADA UMUMNYA, MAKA KESIMPULANNYA MENURUT PENDAPAT MBAH KH. MARZUKI DAHLAN PENGASUH PONPES LIRBOYO KEDIRI BAHWA SHOLAWAT WAHIDIYAH ADALAH HAQ, TIDAK BATHIL (HARAM) BOLEH DIAMALKAN PARA SANTRI BAHKAN SANGAT BAIK TUK DIAMALKAN MASYARAKAT UMUMDAN DISEBARLUASKAN DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH IKHLAS DAN BIJAKSANA !.

Wednesday, June 18, 2014

Rukyah Shalihah bagian dari pembuktian keberadaan Rasulullah SAW


Dan, untuk memahami secara musyahadah keberadaan Rasulullah Saw, tidak ada jalan lain kecuali melalui rukyah shalihah.
a. Imam Thabrani, bertemu Rasulullah Saw yang tersenyum. Dari lesung pipit Rasulullah Saw memancarkan sinar yang memenuhi alam semesta. (kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani Ra dalam bab “ta’birur rukyah”).
b. Sahabat Ali bin Abu Thalib dan sahabat lainnya. Suatu saat berjalan bersama Rasulullah Saw didaerah perbukitan. Tiba-tiba, terdengar suara (kur bersama) yang dari bebatuan dan pepohonan bebaruan. Mereka mengucapkan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ (Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi)
c. Abu Hurairah berkata : Aku bermimpi melihat seseorang yang berpakaian putih bersih. Diatas kepalanya ada mahkota yang bertahtakan intan berlian. Orang yang disebelahnya bertanya : Apa yang dilakukan Allah Swt terhadapmu ?. Orang berjubah menjawab : Allah Saw mengampuniku, memulyakan diriku serta memasukkanku kedalam surga. Seseorang bertanya lagi : Dengan apa ?. Orang berjubah menjawab : Dengan shalawat yang sering kusanjungkan kepada Rasulullah Saw. (kitab Duruul Mandlud-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, pada bahasan rukyah shalihah).
d. Seorang lelaki yang shalih bercerita kepada Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Bahwa ia mimpi didekati wanita yang berwajah sangat buruk. Lelaki tersebut bertanya kepada wanita : Siapa engaku ?. Aku adalah amal burukmu. Jawab wanita. Bagaimana cara mengusirmu jauh dari aku, tanya lelaki. Wanita menjawab : dengan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Saw
e. Abdullah bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i). • Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang demikian ?. Imam Syafi’i menjawab : “Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i : “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.

Membeli waktu


Pada suatu hari, seorang Ayah
pulang dari bekerja pukul 21.00
malam. Seperti hari-hari
sebelumnya, hari itu sangat
melelahkan baginya.
Sesampainya di rumah ia mendapati anaknya yang
berusia
8 tahun yang duduk di kelas 2
SD
sudah menunggunya di depan
pintu rumah. Sepertinya ia sudah
menunggu lama. “Kok belum
tidur?” sapa sang
Ayah pada anaknya. Biasanya
si anak sudah lelap
ketika ia pulang kerja, dan baru bangun ketika ia akan bersiap
berangkat ke kantor di pagi
hari. “Aku menunggu Papa
pulang,
karena aku mau tanya berapa
sih gaji Papa?”, kata sang anak.
“Lho, tumben, kok nanya gaji
Papa segala? Kamu mau minta
uang lagi ya?”, jawab sang
ayah. “Ah, nggak pa, aku
sekedar..pengin tahu aja…” kata
anaknya
.
“Oke, kamu boleh hitung
sendiri.
Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp.400.000.
Setiap bulan rata-rata dihitung
25
hari kerja. Jadi gaji Papa satu
bulan berapa, hayo?!”, tanya
sang ayah. Si anak kemudian berlari
mengambil kertas dari meja
belajar sementara Ayahnya
melepas sepatu dan mengambil
minuman. Ketika sang Ayah ke
kamar untuk berganti pakaian, sang
anak mengikutinya. “Jadi kalau
satu hari Papa
dibayar Rp 400.000 utuk 10 jam,
berarti satu jam Papa digaji Rp
40.000 dong!” “Kamu pinter, sekarang tidur
ya..sudah malam!” Tapi sang
anak tidak mau
beranjak. “Papa, aku boleh
pinjam uang Rp 10.000 nggak?”
“Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam
begini.
Sudah, besok pagi saja.
Sekarang
kamu tidur” “Tapi papa..”
“Sudah, sekarang tidur” suara sang Ayah mulai meninggi.
Anak kecil itu berbalik menuju
kamarnya. Sang Ayah tampak
menyesali
ucapannya. Tak lama kemudian
ia menghampiri anaknya di
kamar.
Anak itu sedang terisak-isak
sambil memegang uang Rp
30.000. Sambil mengelus kepala
sang anak, Papanya berkata “Maafin
Papa ya! Kenapa kamu minta
uang malam-malam begini..
Besok kan masih bisa.
Jangankan
Rp.10.000, lebih dari itu juga boleh. Kamu mau pakai buat
beli
mainan khan?” “Papa, aku ngga
minta uang.
Aku pinjam…nanti aku
kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang
jajanku.” “Iya..iya..tapi buat
apa??”
tanya sang Papa. “Aku
menunggu Papa pulang
hari ini dari jam 8. Aku mau ajak
Papa main ular tangga. Satu jam
saja pa, aku mohon. Mama
sering
bilang, kalau waktu Papa itu
sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Papa. Aku buka
tabunganku, tapi cuma ada
uang
Rp 30.000. Tadi Papa bilang,
untuk
satu jam Papa dibayar Rp 40.000..
Karena uang tabunganku
hanya
Rp.30.000,- dan itu tidak cukup,
aku mau pinjam Rp 10.000 dari
Papa” Sang Papa cuma terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Ia pun
memeluk erat anak kecil itu
sambil menangis. Mendengar
perkataan anaknya, sang Papa
langsung terdiam, ia seketika
terenyuh, kehilangan kata-kata dan menangis.. Ia lalu segera
merangkul sang
anak yang disayanginya itu
sambil menangis dan minta
maaf
pada sang anak.. “Maafkan Papa sayang…” ujar
sang Papa. “Papa telah khilaf,
selama ini
Papa lupa untuk apa Papa
bekerja keras. Maafkan Papa
anakku” kata sang Papa ditengah suara tangisnya. Si
anak hanya diam membisu
dalam dekapan sang Papanya.


Thariqah Dalam al-Qur’an Dan Hadis


Asal makna “thariqah” adalah jalan jalan untuk meraih atau menuju kepada sesuatu baik duniawi maupun ukhrawi. Kadang kata thariqah diartikan dengan kaifiyah atau manhaj (cara, system atau metode). Kemudian dalam kaidah tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini, setiap jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan sebagainya yang memerlukan bai’at langsung (antara murid dan guru) serta adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua bagian; umum dan khusus.
1. Thariqah umum, adalah segala amal shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji).
Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih) mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara tersurat atau tersirat.
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]
2. Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla, qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin. Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil Mukammil Ra, serta fadlal dari Allah Swt.
Secara global, pengertian tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya. Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan berhakikat.
a. Qs. al-Ankabut : 69 : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.:
Dan orang-orang yang senantiasa bermujahadah (berjuang bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan (lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan).
Para ulama kaum sufi, mengartikan kata “subul” dalam ayat 69 surat al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan. Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk (nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) :
وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر :
Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b. Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا :
Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah, niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar. [4]
Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar.
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1. Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara syariat dan hakikat.
2. Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.
1. Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat), para ulama yang ahli diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[7]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a. Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks (tafsir isyari).
c. Pembersihan dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d. Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e. Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan.
Memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f. Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
1. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
2. HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda :[13]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan :
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ :
Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi juz II, bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai lelaki tersebut.
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin mendekati air atau nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan : [14]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi pembawa rahmat.[15] Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [16]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ :
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [19]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20]
Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ :
Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia :[24]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
KETERANGAN :
[1]. Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz I/ 442.
[3]. Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli (membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat melihat kebesaran-Nya_.
[4]. Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt, berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5]. Kata “MUHSIN” sebagai akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari) .
[6]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[7] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[8]. Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9]. Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item keputusan ketujuh, pada bahasan ke 161 dan 162.
[10]. Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[11]. Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
Disini perlu diperhatikan, teks syair Imam Syafii tersebut, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan dipalsukan.
[12]. Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada juz II dalam bab “wawu”.
[13]. HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[14]. Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[15]. Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[16]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[17]. HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[18]. Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[19]. Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[20]. Kitab Thabaqaat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II, kisah Syeh Ibnu Makhala.
[21]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[22]. Ibid. Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya (sambungan jiwa) dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[23]. Diantara tanda benar dan sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya dekat dengan sedekat mungkin kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat tersebut dinilan batal. Lihat kitab al-Anwarul Qudsiyah al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[24]. Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif. tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini, setiap jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan sebagainya yang memerlukan bai’at langsung (antara murid dan guru) serta adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua bagian; umum dan khusus.
1. Thariqah umum, adalah segala amal shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji).
Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih) mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara tersurat atau tersirat.
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]
2. Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla, qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin. Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil Mukammil Ra, serta fadlal dari Allah Swt.
Secara global, pengertian tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya. Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan berhakikat.
a. Qs. al-Ankabut : 69 : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.:
Dan orang-orang yang senantiasa bermujahadah (berjuang bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan (lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan).
Para ulama kaum sufi, mengartikan kata “subul” dalam ayat 69 surat al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan. Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk (nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) :
وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر :
Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b. Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا :
Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah, niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar. [4]
Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar.
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1. Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara syariat dan hakikat.
2. Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.
1. Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat), para ulama yang ahli diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[7]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a. Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks (tafsir isyari).
c. Pembersihan dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d. Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e. Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan.
Memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f. Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
1. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
2. HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda :[13]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan :
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ :
Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi juz II, bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai lelaki tersebut.
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin mendekati air atau nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan : [14]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi pembawa rahmat.[15] Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [16]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ :
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [19]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20]
Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ :
Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia :[24]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
KETERANGAN :
[1]. Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz I/ 442.
[3]. Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli (membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat melihat kebesaran-Nya_.
[4]. Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt, berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5]. Kata “MUHSIN” sebagai akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari) .
[6]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[7] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[8]. Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9]. Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item keputusan ketujuh, pada bahasan ke 161 dan 162.
[10]. Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama da

Tuesday, June 17, 2014

Kepedulian Luar Biasa






Suatu hari seorang laki-laki bertamu kerumah Rasulallah SAW "saya lapar" kata laki-laki itu
pada zaman Nabi SAW masyarakat dididik untuk tidak meminta minta kepada sesamanya. meminta bagi sahabat saat itu sama halnya dengan mencabik cabik muka sendiri karena itu kalau ada orang meminta sesuatu pasti karena terpaksa termasuk laki-laki itu

Nabi SAW kemudia bertanya kepada istrinya, makanan apa yang bisa diberikan kepada tamunya "kita tidak memiliki apa apa" jawab istri beliau

Nabi SAW lalu masuk masjid. rumah beliau memang menyatu dengan masjid Nabawi. Nabi SAW kemudian bersabda "siapa di anatara kalian yang malam ini bersedia memberi makan kepada tamu kita ini? semoga Allah memberi rahmat

saya yaa Rasulallah " sahut seorang sahabat anshar

lelaki itu lalu diajak pulang kerumahnya kepada istrinya orang anshar itu berkata "ini tamu Rasulallah suguhkan padanya makanan yang kita punya

"kita tidak punya makanan apa-apa kecuali sedikit yang hanya cukup untuk anak-anak kita " jawab istrinya

suami istri itu lalu saling pandang mereka kecewa karena tak bisa memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan

"marilah kita sekeluarga malam ini menahan lapar. jika anak minta makan hiburlah dan ajaklah mereka tidur "kata suaminya". suaminya menuruh memadamkan lampu agar anak-anaknya bisa cepat tidur juga agar tamunya tidak mengetahui apakah tuan rumah ikut makan atau tidak

esok harinya Rasulallah SAW memberitahukan kepada para sahabat bahwa telah turun wahyu karena Allah sangat menghargai perilaku suami istri yang sangat memperhatikan kepentingan orang lain

dan merekan lebih mengutamakan orang lain dari pada diri mereka sendaiari. padahal mereka membutuhkan barang yang mereka berikan itu. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Al-Hasyr:59)

mungkin ada orang berkata apa susahnya memberi makanan untuk umembuat satu orang kenyang. bahkan mungkin banyak diantara kita yang mentraktir rekan di rumah makan mahal atau menolong banyak orang makan di restoran

tetapi persoallannya bukan terletak pada murah dan mahalnya makanan atau sedikit dan banyaknya orang yang ditolong melainkan tingkat kepedulian yang tinggi yang dilakukan seseorang kepada orang lain 

bagi sahabat anshar makanan itu sedemikian berharga karena diperuntukan anaknya, dan merupakan satu satunya akanan yang dia miliki saat itu. dia sangat memerlukannya, tetapi demi menolong orang lain ia, kalahkan kepentinganya, bahkan juga kepentingan anaknya.

nilai amal dihadapan Allah bukan terletak pada kuantitasnya, melainkan pada kualitasnya. dan orang anshar yang dihargai Allah itu memberi contoh tentang amal yang berkualitas. yang menerima pertolongan memperoleh manfaat besar, yaitu terhindar dari kelaparan. sedangkan yang memberi pertolongan telah memberikan miliky yang berhaga demi orang lain.

Rasulallah SAW selama sebelas tahun membangun masyarakat di madinah memang tidak menghasilkan masyarakat yang kaya materi. masih banyak orang miskin. tetapi Rasulallah SAW berhasil membangun dengan kukuh masyarakat yang mempunyai kepudilian sangat tinggi kepad sesama. masyarakat, beliau ibaratkan bagaikan bangunan yang kukuh yang saling menguatkan satu bagian dengan bagian lainyya. masyarakat yang damai karena jiwa mereka kaya.

keadaan inilah yang rasanya semakin jauh dari masyarakat kita. Rasulallah SAW mengajarkan agar kita mencari kebahagian dengan cara membahagiakan orang lain. tetapi kita mencari kebahagian dengan cara mengornkan orang lain. nabi SAW yang mulia mengajarkan agar kita mencari kesenangan dengan jalan menyenangkan orang lain, tetapi kita sering kali mencari kesenangan dengan menimbulkan kesulitan pada orang lain


Para wali adalah contoh yang baik

dalam kisahnya kita mengetahui para kekasih Allah ini dalam penyebaran Agama Islam kususnya di tanah jawa yang terkenal dengan sebutan Sembilan Wali, dalam penyiaran agama beliau beliau ini mengunakan sistem pendekatan kepada masyarakat yang baik dan bisa diterima oleh semua golongan, sehingga dalam penyiaran tersebut mampu menarik keinginan umat untuk beragama

hal itulah yang saat ini mungkin belum banyak ada tertanam dalam setiap orang untuk mengajak kebaikan sehingga ketika kita menunjukkan sesuatau yang Haq malah itu menjadi cemooh orang orang yang Batil, karena tidak adanya pendekatan yang baik dan yang bisa diterima oleh kalangan masyarakat atau golongan itulah yang menjadikan kita tidak bisa mengarahkan mereka yang sedang dalam lembah hawa nafsunya

jika kita melihat seperti Sunan Kali jogo beliau arif dan bijaksana dalam penyiaran Islam sehingga mampu menjadi daya tarik orang untuk mengikuti tuntunan dari beliau, karena sebenarnya islam itu luas tidak hanya sebatas syare at saja atau harus sama persis seperti yang dilakukan pada zaman Sahabat dulu, islam harus bisa mengikuti arus perkembangan zaman yang semakin modern ini supaya kita tidak selalu berada di bawah bayang bayang kemajuan teknologi

pada jaman wali songo atau sembilan wali pun demikian beliau beliau ini mencampurkan antara budaya dan ajaran islam menjadi satu yang sebelumnya tidak ada pada zaman sahabat yang terpenting adalah tidak melagar ajaran dari Beliau Kanjeng Nabi Muhammad SAW

semoga kita bisa lebih bijak, lebih arif dalam memperjuangkan kebenaran islam sekarang dalam berjuang tidak lagi dengan kekerasan melainkan dengan fikiran dan do'a