Asal makna “thariqah” adalah jalan jalan untuk meraih atau menuju
kepada sesuatu baik duniawi maupun ukhrawi. Kadang kata thariqah
diartikan dengan kaifiyah atau manhaj (cara, system atau metode).
Kemudian dalam kaidah tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar
(makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini, setiap jalan
kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat
dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat juga
dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau
kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang
berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan
sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan
dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan
sebagainya yang memerlukan bai’at langsung (antara murid dan guru) serta
adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan
pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh
para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan
dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi
al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua
bagian; umum dan khusus.
1. Thariqah umum, adalah segala amal
shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara
sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang
terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya
diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung
didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan
haji).
Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih)
mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang
diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara
tersurat atau tersirat.
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak
terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui
istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]
2. Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak
hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat
dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya
oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki
persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas
berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak
dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla,
qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang
sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu
dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang
awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin.
Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara
keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah
rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak
saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis
tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat
tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil
Mukammil Ra, serta fadlal dari Allah Swt.
Secara global, pengertian
tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan
oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya.
Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar
yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya
bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan
berhakikat.
a. Qs. al-Ankabut : 69 : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.:
Dan orang-orang yang senantiasa bermujahadah (berjuang
bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan
(lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan).
Para
ulama kaum sufi, mengartikan kata “subul” dalam ayat 69 surat
al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan.
Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk
(nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang
baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam
kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) :
وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر :
Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b. Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا :
Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah,
niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar.
[4]
Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah
dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya
fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar.
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1. Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah
jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat
ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan
kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara
syariat dan hakikat.
2. Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati
mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat
menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan
atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.
1. Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual
lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas
landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat), para ulama yang ahli
diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/
kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk
dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw
bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً
كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang
membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala
dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa
mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat
sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari
orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para
ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/
amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat
atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun
kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui
istinbath (makna tersirat).[7]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam
Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/
sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara,
sistem). Tidak seorang-pun mengambil dari salah satunya, kecuali
mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah.
Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut
hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal
jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal
oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun,
dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk
kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat
tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a. Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur
rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam
berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat
Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna
dibalik teks (tafsir isyari).
c. Pembersihan dari penyimpangan makna
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah
Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum
sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang
pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw,
pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’,
takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang
terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d.
Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat)
saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya.
keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya.
Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e. Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni
mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari
kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan
bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau
thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan.
Memahami
keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling
tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan
realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat
al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik
akan dibimbing oleh setan.
f. Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan
menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
1. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan
carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan
sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu
semua memperoleh keberuntungan.
2. HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka
mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal
makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata
wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat
al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah
sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw
bersabda :[13]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا
يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى
اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ
الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian
mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian
bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang
bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya
dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu
semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya
dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan
bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku
wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan :
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ :
Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan
Rasulullah dan dengan perantaraannya. (Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi
juz II, bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak
dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai
lelaki tersebut.
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah),
semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan
melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi
(snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan
menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya
adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin
mendekati air atau nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang
didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat
waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta
mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut.
Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Ra (w. 1933 M), menjelaskan : [14]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665,
dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia
berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk
didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat
melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi pembawa rahmat.[15] Wahai Nabi Muhammad,
sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini
terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan
ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman)
merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis
riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda :
[16]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ :
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka
kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah)
ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka
menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah
orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam
Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim,
dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh
oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya
perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam
wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt
melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih
derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat
dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra
menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan
thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju
kepada-Nya. [19]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ
تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ
الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah
Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang
mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan
terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20]
Demikian pentingnya
peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia
hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk
membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya
dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar
dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan
tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan
pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu
kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu.
Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ :
Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang
cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang
digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang
dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang
jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ
أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ,
كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ
وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ
الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ
كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ
الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ
مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ
الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ
وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ
عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا
هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا
وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى
إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ
الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ,
فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ
تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى
الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal
abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik,
wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah
(benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau
batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek
(pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah
terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan
serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja
memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah
mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan
manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang
berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam
lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak
mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka.
Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan
kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan
pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga
aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu
pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan
?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia
mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya,
sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang
larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar
tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru
semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa
dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta
bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia :[24]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah
memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat
doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw
menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra,
agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat
hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan
Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
KETERANGAN :
[1]. Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz I/ 442.
[3]. Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli
(membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan
sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat
melihat kebesaran-Nya_.
[4]. Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas
dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan
sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah
setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari
Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt,
berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya
kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5]. Kata
“MUHSIN” sebagai akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang
imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan sebagaimana
keterangan dalam sabda Rasulullah Saw: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan
adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan
engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya
Dia melihatmu (HR. Bukhari) .
[6]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man
Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu
Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[7] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[8]. Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9]. Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu
Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani,
Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur
dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah
(kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan
“Khalista” Surabaya, dalam item keputusan ketujuh, pada bahasan ke 161
dan 162.
[10]. Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if
atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan
takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah
menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang
sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau
hasan oleh ulama dahulu.
[11]. Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya.
Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia
(yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa.
Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana
orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
Disini perlu diperhatikan,
teks syair Imam Syafii tersebut, anehnya tidak terdapat dalam cetakan
yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik :
http://www.almeshkat.net/books),
atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan
Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4
Yogyakarta.
Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja
melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus
teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan
dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis
oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang
terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan
dipalsukan.
[12]. Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id
al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada juz II
dalam bab “wawu”.
[13]. HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan
Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[14].
Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar
Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama
tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[15]. Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah)
tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[16]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[17]. HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[18]. Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[19]. Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala
al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa
as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[20]. Kitab Thabaqaat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II, kisah Syeh Ibnu Makhala.
[21]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam
bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru
tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi
Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii
Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa
Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat
sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan
yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam Islam.
Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef
Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti
tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak
memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan
hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[22]. Ibid.
Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru
mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan
kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Beliau Ra
memiliki amalan yang sanadnya (sambungan jiwa) dengan Rasulullah Saw
hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau
Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya
wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw
melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh
Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara
langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali
al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[23]. Diantara
tanda benar dan sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya
dekat dengan sedekat mungkin kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun
mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat
tersebut dinilan batal. Lihat kitab al-Anwarul Qudsiyah al-Ghauts fii
Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[24]. Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau
kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif. tasawuf diartikan; jalan untuk
menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini,
setiap jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw
- dapat dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat
juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau
kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang
berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan
sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan
dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan
sebagainya yang memerlukan bai’at langsung (antara murid dan guru) serta
adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan
pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh
para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan
dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi
al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua
bagian; umum dan khusus.
1. Thariqah umum, adalah segala amal
shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara
sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang
terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya
diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung
didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan
haji).
Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih)
mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang
diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara
tersurat atau tersirat.
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak
terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui
istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]
2. Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak
hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat
dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya
oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki
persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas
berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak
dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla,
qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang
sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu
dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang
awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin.
Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara
keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah
rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak
saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis
tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat
tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil
Mukammil Ra, serta fadlal dari Allah Swt.
Secara global, pengertian
tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan
oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya.
Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar
yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya
bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan
berhakikat.
a. Qs. al-Ankabut : 69 : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.:
Dan orang-orang yang senantiasa bermujahadah (berjuang
bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan
(lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan).
Para
ulama kaum sufi, mengartikan kata “subul” dalam ayat 69 surat
al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan.
Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk
(nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang
baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam
kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) :
وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر :
Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b. Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا :
Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah,
niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar.
[4]
Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah
dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya
fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar.
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1. Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah
jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat
ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan
kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara
syariat dan hakikat.
2. Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati
mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat
menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan
atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.
1. Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual
lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas
landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat), para ulama yang ahli
diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/
kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk
dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw
bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً
كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang
membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala
dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa
mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat
sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari
orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para
ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/
amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat
atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun
kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui
istinbath (makna tersirat).[7]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam
Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/
sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara,
sistem). Tidak seorang-pun mengambil dari salah satunya, kecuali
mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah.
Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut
hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal
jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal
oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun,
dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk
kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat
tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a. Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur
rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam
berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat
Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna
dibalik teks (tafsir isyari).
c. Pembersihan dari penyimpangan makna
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah
Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum
sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang
pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw,
pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’,
takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang
terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d.
Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat)
saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya.
keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya.
Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e. Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni
mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari
kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan
bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau
thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan.
Memahami
keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling
tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan
realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat
al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik
akan dibimbing oleh setan.
f. Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan
menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
1. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan
carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan
sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu
semua memperoleh keberuntungan.
2. HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka
mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal
makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata
wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat
al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah
sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw
bersabda :[13]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا
يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى
اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ
الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian
mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian
bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang
bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya
dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu
semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya
dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan
bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku
wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan :
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ :
Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan
Rasulullah dan dengan perantaraannya. (Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi
juz II, bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak
dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai
lelaki tersebut.
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah),
semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan
melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi
(snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan
menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya
adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin
mendekati air atau nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang
didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat
waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta
mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut.
Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Ra (w. 1933 M), menjelaskan : [14]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665,
dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia
berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk
didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat
melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi pembawa rahmat.[15] Wahai Nabi Muhammad,
sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini
terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan
ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman)
merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis
riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda :
[16]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ :
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka
kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah)
ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka
menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah
orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam
Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim,
dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh
oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya
perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam
wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt
melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih
derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat
dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra
menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan
thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju
kepada-Nya. [19]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ
تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ
الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah
Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang
mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan
terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20]
Demikian pentingnya
peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia
hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk
membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya
dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar
dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan
tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan
pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu
kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu.
Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ :
Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang
cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang
digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang
dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang
jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ
أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ,
كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ
وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ
الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ
كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ
الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ
مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ
الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ
وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ
عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا
هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا
وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى
إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ
الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ,
فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ
تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى
الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal
abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik,
wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah
(benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau
batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek
(pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah
terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan
serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja
memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah
mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan
manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang
berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam
lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak
mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka.
Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan
kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan
pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga
aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu
pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan
?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia
mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya,
sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang
larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar
tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru
semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa
dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta
bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia :[24]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah
memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat
doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw
menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra,
agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat
hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan
Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
KETERANGAN :
[1]. Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz I/ 442.
[3]. Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli
(membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan
sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat
melihat kebesaran-Nya_.
[4]. Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas
dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan
sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah
setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari
Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt,
berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya
kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5]. Kata
“MUHSIN” sebagai akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang
imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan sebagaimana
keterangan dalam sabda Rasulullah Saw: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan
adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan
engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya
Dia melihatmu (HR. Bukhari) .
[6]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man
Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu
Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.
[7] Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[8]. Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9]. Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu
Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani,
Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur
dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah
(kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan
“Khalista” Surabaya, dalam item keputusan ketujuh, pada bahasan ke 161
dan 162.
[10]. Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if
atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan
takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah
menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang
sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau
hasan oleh ulama da